Minggu, 15 November 2009

PEMBENIHAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) VEDCA

PEMB

ENIHAN UDANG WINDU (Penaeus monodon)

DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU

JEPARA JAWA TENGAH

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Penyelesaian

Praktik Kerja Lapangan Pendidikan D4

Manajemen Agroindustri Joint Program

Bidang Peminatan Budiaya Perairan

Disusun Oleh :

ARAFIK LAMADI

K4100705

PROGRAM PENDIDIKAN D4

MANAJEMEN AGROINDUSTRI JOINT PROGRAM

PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK

DAN TENAGA KEPENDIDIKAN (PPPPTK) PERTANIAN

Kerjasama dengan

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2009





ABSTRAK

Arafik Lamadi. K 4207173. Pendidikan Diploma 4 Budidaya Perairan. Pembenihan Udang Windu (Penaeus monodon) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah. Dibawah bimbingan Joko Sumarwan, S.Pi dan Yuli Yulianti, S.Pi


Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu jenis udang perairan laut yang mempunyai nilai jual yang tinggi dan menduduki tempat penting disektor perikanan, baik sebagai komuditi eksport maupun sebagi sumber protein untuk konsumsi dalam negeri, sehingga udang windu sangat berpotensi untuk dikembangkan baik melalui pembenihan di hatchery maupun pembesarannya.

Adanya ketersediaan induk dan benih yang semakin berkurang di laut menyebabkan semakin turunnya produksi udang windu hasil tangkapan, sehingga produksi udang windu melalui budidaya perlu ditingkatkan. Peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut dapat terlaksana bila disuplai faktor-faktor produksi, khususnya jika benih udang windu dapat terjamin sepenuhnya.

Metode yang digunakan adalah orientasi yaitu mahasiswa diajak oleh pembimbing industri untuk mengenali tempat magang, observasi yaitu mahasiswa mengikuti secara langsung kegiatan di industri. Dengan kedua metode itu diharapkan mahasiswa dapat beradaptasi dengan cara, disiplin dan intensitas kerja serta kultur masyarakat disekitar tempat PKL.

Kegiatan pembenihan udang windu (Penaeus monodon) di BBPBAP Jepara meliputi persiapan alat dan wadah, seleksi induk, pemeliharaan induk, ablasi mata, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air dan pengendalian hama penyakit. Adapun fasilitas yang digunakan adalah bak pemeliharaan induk, bak penetasan telur dan bak pemeliharaan larva. Bak pemeliharaan induk berupa bak beton berukuran 6 x 5 x 0,8 meter, bak diisi air ± 40 cm dengan padat tebar tiap bak 5-6 ekor / m2. Pakan yang diberikan berupa cacahan cumi dan cacing laut yang masih segar, pemberian pakan dilakukan 3-5 kali perhari dengan frekuensi pemberian 10-15% bobot badan total induk. Induk yang digunakan harus sesuai kriteria induk yang baik yaitu berumur lebuh dari 1 tahun, panjang jantan lebih dari 20 cm dan betina lebih dari 24 cm, berat jantan lebih dari 80 g dan betina lebih dari 125 g . Perbandaingan induk jantan dan betina adalah 1 : 1 dalam jumlah. Pematangan gonad induk dilakukan dengan menggunakan teknik ablasi mata, yaitu pemotongan salah satu tangkai mata induk betina.

Bak pemeliharaan larva sebalumnya disterilisasi dengan kaporit 500 ppm, setelah itu dibilas dengan air tawar yang steril sebelum dilakukan penebaran. Naupli diaklimatisasi dahulu sebelum ditebar kebak pemeliharaan untuk menyesuaikan terhadap lingkungan baru. Pemberian pakan buatan dengan dosis tertentu diberikan 8 kali perhari dimulai pada stadia zoea 1 . Pakan alami berupa Skeletonema costatum diberikan pada stadia zoea 1 sapai PL 3, sedangkan Artemia salina diberikan mualia pada stadia mysis 3 sampai PL 15. Pemberian pakan alami Skeletonema costatum dan Artemia salina masing-masing sebanyak 4 kali perhari

Salinitas pada awal penebaran adalah 30 ppt dan diturunkan sedikit demi sedikit sampai 25 ppt. Tempratur air dipertahankan ± 30oC. Penggantian air dimulai pada stadia mysis 2 sebanyak 10-15 %. Untuk pencegahan timbulnya jamur maka diberikan anti jamur treflan dengan dosis 0,05 ppm perhari, sedangkan untuk pencegahan bakteri diberikan probiotik yang terdiri dari Nitrobacter sp., Nitrosomonas sp. dan Bacillus sp. dan untuk meningkatkan ketahanan tubuh larva maka diberikan vitamin kompeks.

Pemanenan dilakukan setelah mencapai PL 12 dengan mencabut pipa outlet bak dan disiapkan larva kolektor, setelah itu larva diseser menggunakan saringan halus dan siap dimasukan ke waskom besar. Pengepakan basah menggunakan plastik rangkap yang berisi air media bekas pemeliharaan larva, tetapi suhu air diturunkan sampai 22o C dengan es batu dan perbandingan air dengan oksigen adalah 1 : 2.

Semakin banyaknya permintaan benur dari konsumen maka pembenihan udang windu layak untuk dikembangkan di daerah yang memiliki potensi. Pembenihan udang windu dengan teknik ablasi mata sangat membantu mempercepat pematangan gonad. Kualitas, waktu dan frekuensi pemberian pakan harus diperhatikan sebab berpengaruh pada proses pematangan gonad, kualitas telur dan larva serta kualitas air media budidaya.



I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia perikanan merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat potensial. Pengembangan budidaya air payau di Indonesia untuk waktu yang akan datang sangat penting bagi pembangunan di sektor perikanan, serta merupakan salah satu prioritas yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan di sektor perikanan.

Udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan komoditas unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986.

Semakin kurangnya ketersediaan induk dan benih udang windu di laut ditambah adanya Keputusan Presiden tentang larangan penggunaan pukat harimau (trawl) menyebabkan semakin turunnya produksi udang hasil tangkapan, sehingga produksi udang dari hasil budidaya harus ditingkatkan. Telah disadari bahwa peningkatan produksi udang melalui budidaya tersebut hanya dapat dicapai bila disuplai faktor-faktor produksi, khususnya benih udang dapat terjamin sepenuhnya. Pengembangan teknik-teknik pembenihan udang harus terus dilakukan untuk menunjang kegiatan budidaya udang windu.

Perkembangan budidaya udang windu sendiri telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, hal ini didukung oleh usaha budidaya yang intensif dengan teknologi yang sudah dikuasai, harga yang tinggi dipasar lokal maupun internasional, dan peluang yang luas telah membuat udang windu menjadi komoditas harapan bagi para pengusaha sehingga banyak yang berani menanamkan modal bisnis udang windu ini.

Guna menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan (hatchery) udang windu. Usaha pembenihan udang ini berkembang pesat setelah ditemukannya teknik ablasi mata. Dengan teknik tersebut maka masalah penyediaan induk matang telur dapat diatasi dan seluruh siklus hidup udang dapat diusahakan dalam lingkungan yang terkontrol.

Keberhasilan usaha pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung usaha penyediaan benih udang windu yang berkualitas.

1.2. Tujuan

Praktik Kerja Lapang ini bertujuan untuk :

1. Menambah pengalaman yang riil di lapangan.

2. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan.

3. Mengetahui teknik pembenihan udang windu (Penaeus monodon).

4. Pemenuhan persyaratan akademik.

5. Menyelesaikan mata kuliah teori semester IV dengan melalui Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

1.3. Sasaran

Setelah melaksanakan praktek kerja lapang, diharapkan mahasiswa :

1. Berpengalaman dalam kegiatan pembelajaran di industri yang relevan.

2. Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama kuliah pada tahun pertama.

3. Memperoleh tambahan materi yang didapat selama kegiatan PKL.





II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)

Soetomo (2000) menyatakan udang windu diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phyllum : Arthropoda

Class : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Family : Panaeidae

Genus : Penaeus

Species : Penaeus monodon Fabricus

Dalam dunia internasional, udang windu dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimp, atau tiger prawn.

Morfologi udang windu selengkapnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

E:\UDANGKU.jpg

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)

Soetomo (2000) menyatakan udang windu diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phyllum : Arthropoda

Class : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Family : Panaeidae

Genus : Penaeus

Species : Penaeus monodon Fabricus

Dalam dunia internasional, udang windu dikenal dengan nama black tiger, tiger shrimp, atau tiger prawn.

Morfologi udang windu selengkapnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

E:\UDANGKU.jpg


Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)

Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Penaeus monodon Fab.) terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman, 1994).

Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapas) yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan, sehingga pada umur yang sama tubuh udang betina lebih besar daripada udang jantan (Soetomo, 2000).

Di bagian kepala sampai dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus).

Udang jantan biasanya lebih besar, tubuh langsing, ruang bawah perut sempit, sedangkan udang betina gemuk karena ruang perutnya membesar. (Soetomo, 2000). Alat kelamin jantan disebut petasma yang terdapat pada pangkal periopoda kelima, sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum yang terdapat pada pangkal periopoda ketiga (Suyanto dan Mudjiman, 1994).

2.2. Habitat dan Penyebaran

Amri (2003) menyatakan bahwa habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur.

Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa.

Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994).

2.3. Kualitas Air

Kelulus hidupan (survival rate) dan pertumbuhan organisme perairan juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Faktor-fakor yang dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan seperti udang antara lain :

2.3.1. Suhu

Suhu air mempunyai peranan paling besar dalam perkembangan dan pertumbuhan udang. Kecepatan metabolisme udang meningkat cepat sejalan dengan meningkatnya suhu lingkungan. Secara umum suhu optimal bagi udang windu adalah 25-30 oC. Suhu diatas 30 oC masih dianggap baik bagi budidaya udang. Udang akan kurang aktif apabila suhu air turun dibawah 18 oC dan pada suhu 15 oC atau lebih rendah akan menyebabkan udang stress bahkan mati (Wardoyo, 1997).

2.3.2. Salinitas

Cheng (1996) menyatakan bahwa larva udang windu mempunyai toleransi yang luas terhadap perubahan salinitas dan berubah-ubah sepanjang hidup. Larva udang windu memiliki sistem osmoregulasi yang sangat efisien pada salinitas antara 5-55 ppt (Liao,1986).

2.3.3. Oksigen Terlarut (DO)

Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah adalah faktor yang paling lazim menyebabkan mortalitas dan kelambatan pertumbuhan udang. Kelarutan oksigen dalam air dipengruhi oleh suhu dan kadar garam. Kelarutan oksigen akan menurun jika suhu dan kadar garam meningkat atau tekanan udara menurun. Konsentrasi oksigen terlarut minimum untuk menunjang pertumbuhan optimal udang adalah 4 ppm (Tsai,1989).

2.3.4. Derajat Keasaman (pH)

pH merupakan indikator keasaman dan kebasaan air. pH perlu dipertimbangkan karena mempengaruhi metabolisme dan proses fisiologis udang. Kisaran pH yang optimal untuk pertumbuhan udang windu adalah 6,5-8,5 (Tsai,1989).

2.3.5. Ammonia dan Nitrit

Dalam budidaya udang, selalu ditemukan ammonia dalam jumlah yang besar, karena ammonia adalah bentuk ekskresi bernitrogen pada Crustacea. Hal ini berkaitan dengan nutrisi pada pakan yang mengandung protein, karena ammonia merupakan hasil metabolisme protein. Telah diketahui toksisitas ammonia memberi pengaruh pada kelangsungan hidup, ammonia dan moulting. Toksisitas ammonia mempengaruhi pH perairan, jika toksisitas ammonia meningkat maka pH akan meningkat (Rocotta, 2000).

Ammonia atau hasil oksidasinya (nitrit) pada lingkungan dapat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Hal ini dikatakan oleh Wang et al. (2003) bahwa perubahan status nitrit pada lingkungan dapat menginduksi hypoxia pada jaringan dan mengganggu metabolisme respirasi pada udang Penaeid.

Ammoniak (NH3) tidak terionosasi bersifat toksik sedangkan ion ammonia memiliki tingkat toksisitas yang rendah atau tidak sama sekali toksik (Chen, 1986).

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makan

Udang windu bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya, tidak besifat terlalu memilih-milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatome, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo, 1976).

Udang windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang windu dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea. Dalam usaha budidaya, udang windu mendapatkan makanan alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo, 2000).

2.5. Reproduksi

Toro dan Soegiarto (1979) mengemukakan bahwa udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu memepunyai jenis kelamin jantan dan betina yang masing-masing terpisah . Perkawinan udang terjadi di laut bebas dengan jalan merapatkan perutnya (ventral) masing-masing. Udang jantan biasanya lebih agresif dibanding betina, perkawinan terjadi setelah betina mengganti kulit (moulting), udang jantan tertarik kepada betina karena adanya hormon ektokrin yang keluar secara eksternal yaitu pada saat telur dikeluarkan melaluai saluran telur (oviduk).

Martidjo (2003) menyatakan udang windu memiliki lima tingkat kematangan gonad. Selangkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Tingkat kematangan gonad

Kematangan Gonad

Ciri - Ciri

TKG I

Merupakan tingkat belum matang, ovari (kandungan telur) tipis, bening tidak berwarna dan terdapat pada abdomen.

TKG II

Merupakn tingkat kematangan awal, ovari membesar, bagian depan dan tengah mengembang.

TKG III

Merupakan tingkat kematangan lanjutan, ovari berwarna hijau muda, dapat dilihat dari eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh.

TKG IV

Tingkat keempat matang telur, ovari berwarna hijau tua, ovari lebih besar.

TKG V

Telur sudah dilepaskan (spent)

Pemijahan di alam terjadi sepanjang tahun dengan puncak-puncak tertentu pada awal dan akhir musim penghujan. Penurunan kadar garam pada awal dan kenaikan pada akhir musim penghujan dibarengi dengan perubahan suhu yang mendadak diduga memberi rangsangan pada induk yang matang telur untuk memijah. Pada saat inilah benur dapat ditangkap pada jumlah yang besar. Sedangkan pada pembenihan buatan prinsipnya diperlukan induk betina matang telur yang sudah dikawini oleh udang jantan di dalam bak peneluran atau didalam bak larva. Langkah berikutnya adalah menetaskan telur dan memelihara larva dari hasil tetasan tersebut sampai mencapai tingkat post larva umur 5-10 hari (Prawidihardjo et al. dalam Poernomo, 1976).

Telur yang telah dibuahi menetas menjadi nauplius berukuran 0,31-0,33 mm dan pada stadia ini terjadi pergantian kulit sebanyak 6 kali. Zoea dengan bentuk badan lurus ukuran 1,2-2,5 mm, mysis berukuran 3,5-4,56 mm dan post larva berukuran 5 mm (Poernomo, 1976).

2.6. Daur Hidup

Motoh (1981) dalam Sulistyono dan Nurdjana, membagi daur hidup udang windu menjadi enam tahap, yaitu sebagai berikut:

2.6.1. Tahap embrio

Dimulai pada saat pembuahan sampai penetasan.

2.6.2. Tahap larva

Terdiri dari stadia nauplius, zoea, mysis dan post larva. Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen ke enam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan yang ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antenna hingga telson.

2.6.3. Tahap juvenil

Pada stadia awal ditandai oleh warna tubuh yang transparan dengan pita coklat gelap di bagian sentral. Tahap ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan, ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap udang muda.

2.6.4. Tahap udang muda

Pada tahap ini proporsi ukuran tubuh mulai stabil dan tumbuh tanda-tanda seksual dimana alat kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah panjang cangkang 30 mm, sedangkan pada betina thelicum mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapi 37 mm.

2.6.5. Tahap sub adult

Ditandai dengan adanya kematangan seksual

2.6.6. Tahap dewasa

Udang windu dewasa ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna. Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovoctus yang telah berkembang di dalam ovariumnya.

Udang windu daur hidupnya mempunya beberapa tahap. Tahap pertama dimulai sejak udang tumbuh menjadi dewasa dan matang gonad dan bergerak kelaut dalam. Disini udang akan melakukan perkawinan, memijah dan bertelur. Telur akan menets dan berkembang menjadi larva, nauplius, protozoea dan mysis. Kemudian tahap kedua dimulai dengan perubahan mysis menjadi post larva yang mulai bergerak ke daerah pantai dan mencapai estuaria, disini udang sampai dewasa dan bergerak ke tengah laut untuk memijah lagi (Toro dan Sugiarto, 1979).

Sutaman (1993) mengemukakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan ganti kulit. Secara bergantian larva dimulai dari menetas menjadi post larva . Menurut Amri (2003) bahwa ada 4 tahap moulting yakni tahap pertama proedysis, tahap kedua edysis, tahap ketiga metecdysis dan tahap keempat intermoult.

2.7. Hama dan Penyakit

Wijayati (1995) menyatakan penyakit yang sering timbul pada stadia mysis sampai post larva adalah penyakit hepatopancreas, yang ditandai oleh adanya gelembung-gelembung udara yang mirip dengan jaringan lemak di sekitar perut atau hepatopancreas. Sedangkan pada tingkat zoea sering terserang cendawan yang bisa mengakibatkan kematian total setelah 3 hari terinfeksi dan parasit lain yang bisa menyerang zoea-post larva adalah zoothamnium. Penyakit akan timbul bila kualitas air kurang baik karena banyak sisa-sisa makanan serta penggantian air kurang lancar.

2.8. Teknik Budidaya

Suwoyo et al. (2004) menyatakan selama proses pematangan induk secara buatan, calon induk harus berada dalam kondisi lingkungan yang optimal, yaitu padat penebaran yang tepat (4 ekor/m2 luas bak), air bersih dan sehat serta cukup tersedia makanan yang segar dan bergizi. Makanan yang dapat digunakan adalah cumi-cumi, jambret, daging kerang-kerangan, cacing laut, rebon dan hati sapi dengan jumlah 10-20% berat badan/hari dan selama proses pematangan, calon induk harus diperiksa secara teratur untuk mengetahui perkembangan ovarinya yang telah dicapai. Pemeriksaan dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan stres bagi induk. Makanan yang mengandung beta-caroten, phosphatydil cholin, cholesterol, vitamin B dan vitamin D2 (calciferol) dapat merangsang pematangan telur.

Aquacop (1976) menyatakan bahwa pematangan dengan rangsangan dilakukan dengan teknik ablasi mata yang didasarkan atas pengrusakan kelenjar penghasil hormon yang menghambat perkembangan gonad (GIH) dan ganti kulit (MIH), kelenjar tersebut dikenal dengan organ-X.

Kokarkin et al. (1995) mengemukakan peneluran dan penetasan telur dapat dilakukan di dalam bak peneluran khusus atau langsung dalam bak pemeliharaan larva dengan ukuran bak berkapasitas 100-300 liter. Sebelum dimasukkan di dalam bak peneluran sebaiknya induk udang disuci hamakan dengan larutan furanace 3 mg/l selama 1 jam atau menggunakan larutan formalin 50 mg/l selama 15-20 menit. Maksimum 5 induk yang dapat disuci hamakan dalam 20 liter larutan, kemudian bilas dengan air bersih. Sebaiknya tiap bak hanya diisi satu induk, sehingga fekunditas dan kualitas telur dapat diketahui dengan melihat tingginya presentase penetasan.

Ada dua teknik pemeliharaan larva dalam bak yakni teknik Jepang dan teknik Galveston. Pada teknik Jepang makanan alami yang terdiri dari diatomae (Skeletonema) langsung ditumbuhkan dalam bak larva dan induk matang telur langsung dimasukkan ke bak larva untuk ditelurkan dan ditetaskan, selanjutnya pada teknik galveston makanan alami (sejenis alga) dibiakkan dalam bak khusus secara terpisah (Nurdjana, 1983).

Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)

Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang windu (Penaeus monodon Fab.) terbagi menjadi dua bagian, yakni bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian belakangnya. Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, Sedangkan bagian perut terdiri atas segmen dan 1 telson. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula (Suyanto dan Mujiman, 1994).

Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapas) yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman, 1994). Udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan, sehingga pada umur yang sama tubuh udang betina lebih besar daripada udang jantan (Soetomo, 2000).

Di bagian kepala sampai dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil (antennula), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat-alat pembantu rahang (maxilla), dan kaki jalan (pereiopoda). Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda). Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus).

Udang jantan biasanya lebih besar, tubuh langsing, ruang bawah perut sempit, sedangkan udang betina gemuk karena ruang perutnya membesar. (Soetomo, 2000). Alat kelamin jantan disebut petasma yang terdapat pada pangkal periopoda kelima, sedangkan alat kelamin betina disebut thelicum yang terdapat pada pangkal periopoda ketiga (Suyanto dan Mudjiman, 1994).

2.2. Habitat dan Penyebaran

Amri (2003) menyatakan bahwa habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dari persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Udang windu bersifat euryhaline yakni bisa hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang berkadar garam rendah. Udang windu juga bersifat benthik, hidup pada permukaan dasar laut yang lumer (soft) terdiri dari campuran lumpur dan pasir terutama perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai yang besar dan pada stadium post larva ditemukan di sepanjang pantai dimana pasang terendah dan tertinggi berfluktuasi sekitar 2 meter dengan aliran sungai kecil, dasarnya berpasir atau pasir lumpur.

Toro dan Soegiarto (1979) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan habitat udang, hal ini ditandai oleh perpaduan antara tekstur dasar perairan hutan mangrove (berlumpur) dengan sistem perakaran vegetasi penyusun hutan mangrove, terlebih-lebih larva dan udang muda yang kondisinya masih lemah, akan berlindung dari serangan arus dan aliran air yang deras serta terhindar dari binatang pemangsa.

Pada siang hari, udang hanya membenamkan diri pada lumpur maupun menempelkan diri pada sesuatu benda yang terbenam dalam air (Soetomo, 2000). Apabila keadaan lingkungan tambak cukup baik, udang jarang sekali menampakkan diri pada siang hari. Apabila pada suatu tambak udang tampak aktif bergerak di waktu siang hari, hal tersebut merupakan tanda bahwa ada yang tidak sesuai. Ketidakesuaian ini disebabkan oleh jumlah makanan yang kurang, kadar garam meningkat, suhu meningkat, kadar oksigen menurun, ataupun karena timbulnya senyawa-senyawa beracun (Suyanto dan Mujiman, 1994).

2.3. Kualitas Air

Kelulus hidupan (survival rate) dan pertumbuhan organisme perairan juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Faktor-fakor yang dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan seperti udang antara lain :

2.3.1. Suhu

Suhu air mempunyai peranan paling besar dalam perkembangan dan pertumbuhan udang. Kecepatan metabolisme udang meningkat cepat sejalan dengan meningkatnya suhu lingkungan. Secara umum suhu optimal bagi udang windu adalah 25-30 oC. Suhu diatas 30 oC masih dianggap baik bagi budidaya udang. Udang akan kurang aktif apabila suhu air turun dibawah 18 oC dan pada suhu 15 oC atau lebih rendah akan menyebabkan udang stress bahkan mati (Wardoyo, 1997).

2.3.2. Salinitas

Cheng (1996) menyatakan bahwa larva udang windu mempunyai toleransi yang luas terhadap perubahan salinitas dan berubah-ubah sepanjang hidup. Larva udang windu memiliki sistem osmoregulasi yang sangat efisien pada salinitas antara 5-55 ppt (Liao,1986).

2.3.3. Oksigen Terlarut (DO)

Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah adalah faktor yang paling lazim menyebabkan mortalitas dan kelambatan pertumbuhan udang. Kelarutan oksigen dalam air dipengruhi oleh suhu dan kadar garam. Kelarutan oksigen akan menurun jika suhu dan kadar garam meningkat atau tekanan udara menurun. Konsentrasi oksigen terlarut minimum untuk menunjang pertumbuhan optimal udang adalah 4 ppm (Tsai,1989).

2.3.4. Derajat Keasaman (pH)

pH merupakan indikator keasaman dan kebasaan air. pH perlu dipertimbangkan karena mempengaruhi metabolisme dan proses fisiologis udang. Kisaran pH yang optimal untuk pertumbuhan udang windu adalah 6,5-8,5 (Tsai,1989).

2.3.5. Ammonia dan Nitrit

Dalam budidaya udang, selalu ditemukan ammonia dalam jumlah yang besar, karena ammonia adalah bentuk ekskresi bernitrogen pada Crustacea. Hal ini berkaitan dengan nutrisi pada pakan yang mengandung protein, karena ammonia merupakan hasil metabolisme protein. Telah diketahui toksisitas ammonia memberi pengaruh pada kelangsungan hidup, ammonia dan moulting. Toksisitas ammonia mempengaruhi pH perairan, jika toksisitas ammonia meningkat maka pH akan meningkat (Rocotta, 2000).

Ammonia atau hasil oksidasinya (nitrit) pada lingkungan dapat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Hal ini dikatakan oleh Wang et al. (2003) bahwa perubahan status nitrit pada lingkungan dapat menginduksi hypoxia pada jaringan dan mengganggu metabolisme respirasi pada udang Penaeid.

Ammoniak (NH3) tidak terionosasi bersifat toksik sedangkan ion ammonia memiliki tingkat toksisitas yang rendah atau tidak sama sekali toksik (Chen, 1986).

2.4. Makanan dan Kebiasaan Makan

Udang windu bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya, tidak besifat terlalu memilih-milih (Dall dalam Toro dan Soegiarto, 1979). Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatome, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora (Vilalez dalam Poernomo, 1976).

Udang windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton (fitoplankton dan zooplankton). Udang windu dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska (kerang, tiram, siput), cacing, annelida yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea. Dalam usaha budidaya, udang windu mendapatkan makanan alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan (Soetomo, 2000).

2.5. Reproduksi

Toro dan Soegiarto (1979) mengemukakan bahwa udang penaeid termasuk hewan yang heteroseksual, yaitu memepunyai jenis kelamin jantan dan betina yang masing-masing terpisah . Perkawinan udang terjadi di laut bebas dengan jalan merapatkan perutnya (ventral) masing-masing. Udang jantan biasanya lebih agresif dibanding betina, perkawinan terjadi setelah betina mengganti kulit (moulting), udang jantan tertarik kepada betina karena adanya hormon ektokrin yang keluar secara eksternal yaitu pada saat telur dikeluarkan melaluai saluran telur (oviduk).

Martidjo (2003) menyatakan udang windu memiliki lima tingkat kematangan gonad. Selangkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Tingkat kematangan gonad

Kematangan Gonad

Ciri - Ciri

TKG I

Merupakan tingkat belum matang, ovari (kandungan telur) tipis, bening tidak berwarna dan terdapat pada abdomen.

TKG II

Merupakn tingkat kematangan awal, ovari membesar, bagian depan dan tengah mengembang.

TKG III

Merupakan tingkat kematangan lanjutan, ovari berwarna hijau muda, dapat dilihat dari eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh.

TKG IV

Tingkat keempat matang telur, ovari berwarna hijau tua, ovari lebih besar.

TKG V

Telur sudah dilepaskan (spent)

Pemijahan di alam terjadi sepanjang tahun dengan puncak-puncak tertentu pada awal dan akhir musim penghujan. Penurunan kadar garam pada awal dan kenaikan pada akhir musim penghujan dibarengi dengan perubahan suhu yang mendadak diduga memberi rangsangan pada induk yang matang telur untuk memijah. Pada saat inilah benur dapat ditangkap pada jumlah yang besar. Sedangkan pada pembenihan buatan prinsipnya diperlukan induk betina matang telur yang sudah dikawini oleh udang jantan di dalam bak peneluran atau didalam bak larva. Langkah berikutnya adalah menetaskan telur dan memelihara larva dari hasil tetasan tersebut sampai mencapai tingkat post larva umur 5-10 hari (Prawidihardjo et al. dalam Poernomo, 1976).

Telur yang telah dibuahi menetas menjadi nauplius berukuran 0,31-0,33 mm dan pada stadia ini terjadi pergantian kulit sebanyak 6 kali. Zoea dengan bentuk badan lurus ukuran 1,2-2,5 mm, mysis berukuran 3,5-4,56 mm dan post larva berukuran 5 mm (Poernomo, 1976).

2.6. Daur Hidup

Motoh (1981) dalam Sulistyono dan Nurdjana, membagi daur hidup udang windu menjadi enam tahap, yaitu sebagai berikut:

2.6.1. Tahap embrio

Dimulai pada saat pembuahan sampai penetasan.

2.6.2. Tahap larva

Terdiri dari stadia nauplius, zoea, mysis dan post larva. Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen ke enam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan yang ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antenna hingga telson.

2.6.3. Tahap juvenil

Pada stadia awal ditandai oleh warna tubuh yang transparan dengan pita coklat gelap di bagian sentral. Tahap ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan, ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap udang muda.

2.6.4. Tahap udang muda

Pada tahap ini proporsi ukuran tubuh mulai stabil dan tumbuh tanda-tanda seksual dimana alat kelamin pada udang windu jantan yaitu petasma mulai terlihat setelah panjang cangkang 30 mm, sedangkan pada betina thelicum mulai terlihat setelah panjang cangkang mencapi 37 mm.

2.6.5. Tahap sub adult

Ditandai dengan adanya kematangan seksual

2.6.6. Tahap dewasa

Udang windu dewasa ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna. Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovoctus yang telah berkembang di dalam ovariumnya.

Udang windu daur hidupnya mempunya beberapa tahap. Tahap pertama dimulai sejak udang tumbuh menjadi dewasa dan matang gonad dan bergerak kelaut dalam. Disini udang akan melakukan perkawinan, memijah dan bertelur. Telur akan menets dan berkembang menjadi larva, nauplius, protozoea dan mysis. Kemudian tahap kedua dimulai dengan perubahan mysis menjadi post larva yang mulai bergerak ke daerah pantai dan mencapai estuaria, disini udang sampai dewasa dan bergerak ke tengah laut untuk memijah lagi (Toro dan Sugiarto, 1979).

Sutaman (1993) mengemukakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan ganti kulit. Secara bergantian larva dimulai dari menetas menjadi post larva . Menurut Amri (2003) bahwa ada 4 tahap moulting yakni tahap pertama proedysis, tahap kedua edysis, tahap ketiga metecdysis dan tahap keempat intermoult.

2.7. Hama dan Penyakit

Wijayati (1995) menyatakan penyakit yang sering timbul pada stadia mysis sampai post larva adalah penyakit hepatopancreas, yang ditandai oleh adanya gelembung-gelembung udara yang mirip dengan jaringan lemak di sekitar perut atau hepatopancreas. Sedangkan pada tingkat zoea sering terserang cendawan yang bisa mengakibatkan kematian total setelah 3 hari terinfeksi dan parasit lain yang bisa menyerang zoea-post larva adalah zoothamnium. Penyakit akan timbul bila kualitas air kurang baik karena banyak sisa-sisa makanan serta penggantian air kurang lancar.

2.8. Teknik Budidaya

Suwoyo et al. (2004) menyatakan selama proses pematangan induk secara buatan, calon induk harus berada dalam kondisi lingkungan yang optimal, yaitu padat penebaran yang tepat (4 ekor/m2 luas bak), air bersih dan sehat serta cukup tersedia makanan yang segar dan bergizi. Makanan yang dapat digunakan adalah cumi-cumi, jambret, daging kerang-kerangan, cacing laut, rebon dan hati sapi dengan jumlah 10-20% berat badan/hari dan selama proses pematangan, calon induk harus diperiksa secara teratur untuk mengetahui perkembangan ovarinya yang telah dicapai. Pemeriksaan dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan stres bagi induk. Makanan yang mengandung beta-caroten, phosphatydil cholin, cholesterol, vitamin B dan vitamin D2 (calciferol) dapat merangsang pematangan telur.

Aquacop (1976) menyatakan bahwa pematangan dengan rangsangan dilakukan dengan teknik ablasi mata yang didasarkan atas pengrusakan kelenjar penghasil hormon yang menghambat perkembangan gonad (GIH) dan ganti kulit (MIH), kelenjar tersebut dikenal dengan organ-X.

Kokarkin et al. (1995) mengemukakan peneluran dan penetasan telur dapat dilakukan di dalam bak peneluran khusus atau langsung dalam bak pemeliharaan larva dengan ukuran bak berkapasitas 100-300 liter. Sebelum dimasukkan di dalam bak peneluran sebaiknya induk udang disuci hamakan dengan larutan furanace 3 mg/l selama 1 jam atau menggunakan larutan formalin 50 mg/l selama 15-20 menit. Maksimum 5 induk yang dapat disuci hamakan dalam 20 liter larutan, kemudian bilas dengan air bersih. Sebaiknya tiap bak hanya diisi satu induk, sehingga fekunditas dan kualitas telur dapat diketahui dengan melihat tingginya presentase penetasan.

Ada dua teknik pemeliharaan larva dalam bak yakni teknik Jepang dan teknik Galveston. Pada teknik Jepang makanan alami yang terdiri dari diatomae (Skeletonema) langsung ditumbuhkan dalam bak larva dan induk matang telur langsung dimasukkan ke bak larva untuk ditelurkan dan ditetaskan, selanjutnya pada teknik galveston makanan alami (sejenis alga) dibiakkan dalam bak khusus secara terpisah (Nurdjana, 1983).





III. METODE PELAKSANAAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) dilaksanakan selama 2 bulan, yang dimulai pada tanggal 06 Oktober sampai dengan 07 Desember 2008 yang bertempat di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah.

3.2. Metode

3.2.1. Orientasi

Pada saat orientasi mahasiswa diajak untuk mengenali lingkungan tempat magang kemudian mendapat petunjuk dan arahan serta diajak berdiskusi untuk menentukan divisi tempat magang.

3.2.2. Observasi

Pada tahap ini mahasiswa mengikuti secara langsung kegiatan di lokasi Pembenihan Udang Windu Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara untuk mendapatkan data, informasi dan keterampilan.

3.2.3. Adaptasi

Dengan mengikuti seluruh kegiatan pembenihan di Hatchery yang meliputi persiapan wadah, pemilihan dan pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pentokolan dan kultur pakan alami serta senantiasa berdiskusi dengan pembimbing, karyawan dan masyarakat di sekitar tempat industri maka mahasiswa diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan disiplin, intensitas kerja serta kultur masyarakat di sekitar tempat PKL.

3.3. Pelaksanaan

Pada tahap ini mahasiswa melaksanakan pengumpulan data primer yaitu dengan mengikuti seluruh kegiatan dalam pembenihan udang widu yang meliputi persiapan wadah, pemilihan dan pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pentokolan serta kultur pakan alami. Mahasiswa juga melakukan pengumpulan data sekunder yaitu dengan studi pustaka dengan mencari keterangan ilmiah teoritis dan literatur yang mencakup masalah-masalah yang dihadapi.





V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil Praktik Kerja Lapangan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pembenihan udang windu dengan teknik ablasi mata sangat membantu dalam upaya mengatasi sulitnya mendapatkan induk yang matang gonad.

2. Kualitas pakan yang diberikan pada induk dapat mempengaruhi kualitas telur dan larva.

3. Waktu dan frekuensi pemberian pakan sangat diperhitungkan, tujuannya adalah untuk menjaga mutu air dan proses pematangan gonad pada induk udang windu.

4. Kelangsungan hidup larva sangat bergantung pada padat tebar, menejemen pakan dan kualitas air.

5. Usaha pembenihan udang windu memiliki prospek yang cerah untuk terus dikembangkan pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang mendukung, karena semakin banyaknya permintaan benur dari konsummen.

5.2. Saran

Kepada pihak BBPBAP Jepara penulis menyarankan sebagai berikut :

1. Semakin berkurangnya stok induk di alam maka pengembangan induk di tambak dan program NSBC (National Shrimp Broaddstock Centre) di BBPBAP Jepara harus lebih ditingkatkan lagi.

2. Pemberian pakan cacing laut agar ditambah karena induk udang sangat responsif memakannya dibandingkan dengan cincangan cumi.

3. Memiliki alat pemberian pakan dan pengontrolan kualitas air yang berbeda pada tiap bak guna mencegah terjadinya penularan penyakit



DAFTAR PUSTAKA

Amri, K., 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Anonim, 2004. Laporan Kegiatan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 29 Halaman.

Aquacop, 1976. Maturating and Spawning in Capacity of Penaeid Prawns, P. Marguensis and Netapenaeus Entis. Proc. 6 th Annual Worksshop Worrld Marinculture Society. 123 Halaman.

Chen, J. C., Chin, T. S., and Lee, C. K. 1986. Effect of Ammonia and Nitrite on Larval Development of The Shrimp, Penaeus monodon. In J. L. Machlean, L. B. Dizon and L. V. Hossilos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society.

Cheng, J. H., and Liao. I. C. 1986. The Effect of Salinity on The Osmotic and Ionic Concentration in The Hemolymph Penaeus monodon and P. Penicullaius. In J. L. Machlean, L. B. Dizon and L. V. Hossilos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society.

Kokarkin, C, Wijayati dan Pujianto., 1995. Patogen dan Pengendaliannya di Pembenihan Udang Windu. Balai Besar Pengemban Budidaya Air Payau Jepara. 10 Halaman

Liao, I. C., and Murai, T. 1986. Effect of Disolved Oxygen Consumption of The Grass Shrimp, Penaeus monodon. Machlean, L. B. Dizon and L. V. Hossilos (Eds). The First Asian Fisheries Forum. Philippines : Asian Fisheries Society.

Motoh, H. 1981. Studies on The Fisheries Biology of The Giant Tiger Prawn Penaeus monodon. The Philippines Technical Report no 7. Philippines : Aquaculture Departement Suotheast Asian Fisheries Development Center.

Mudjiman, A. 1988. Udang Renik Air Asin (Artemia salina). Penerbit Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Murtidjo, B.A., 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kansius. Jakarta.

Nurjana, M. L. 1988. Berbagai Aspek Biologi Udang Windu (Penaeus monodon Fab.). Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.

Poernoma, A., 1976. Budidaya Udang Windu di Tambak Potensial Budidaya Produksi dan Udang Sebagai Lahan Makanan di Indonesia. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Organisasi (LIPI) Jakarta. 41 Halaman.

Rocotta, I. S., and Hernandez-Herrera, R. 2000. Metabilic Response of The White Shrimp, Penaeus vannamei to Ambient Ammonia. Compararative Biochemystryand Physiology Part A 125. 443 Halaman.

Soegiarto, K.A., 2000. Teknik Pembenihan Udang. Potensi dan Perkembangan Teknologi di Indonesia. Besar Pengemban Budidaya Air Payau Jepara.

Soetomo, M.J.A., 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). Kansiua. Yogyakarta.

Sumarwan, J., 2004. Produksi Benih Udang Windu (Penaeus monodon) Bebas SEMBV. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Jepara

Suwoyo, D, Hariyono dan Moehit., 2004. Produksi Nauplius Udang Penaeid. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 12 Halaman.

Sutaman., 1993. Petunjuk Teknis Pembenihan Udang Windu Skala Rumah Tangga. Kansius. Yogyakarta.

Suyanto, S.R dan A. Mujiman., 1994. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya. Jakarta.

Toro, V dan Soegiarto., 1979. Biologi Udang Windu. Proyek Penelitian Sumberdaya Ekonomi. Lembaga Oceanoligi LIPI. Jakarta. 144 Halaman.

Tsai, C. K. 1989. Pengelolaan Mutu Air. Lokakarya Pengelolaan Budidaya Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Bekerja Sama dengan American Soybeans Association. Yayasan Pendidikan Wijayakusuma dan Institut Politeknik Indonesia.

Wang, W. N., Wang, A. L., Zhang, Y. J., Li, Z. H., Wang, J. X., and Sun, R. Y. 2003. Effects of Nitrite on Lethal and Immune Response of Macrobrachium Nipponese. Aquaculture 232. 686 Halaman.

Wardoyo, S. 1997. Pengelolaan Kualitas Air Udang Penaeid. Dalam Pelatihan Manajemen Tambak dan Hathery. Bogor.

Wijayati, A., 1995. Waspadai Penyakit Udang di Pembenihan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 20 Halaman.

www. wikipedia.com






2 komentar: