Selasa, 24 November 2009

Clownfish



FERTILISASI IKAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya perikanan adalah salah satu sumberdaya yang mendapat tekanan yang cukup berat. Selain akibat lahan yang semakin sempit, juga akibat pencemaran perairan, yang tendensinya terus meningkat dari tahun ketahun.

Untuk mencegah punahnya ikan, selain dilakukan upaya konservasi juga dilakukan upaya domestikasi dan pembudidayaan. Dalam kegiatan budidaya ikan salah satu aspek penting yang perlu dikuasai adalah aspek reproduksi. Melalui kegiatan pengembangbiakkan (reproduksi) maka siklus hidup ikan dapat berkesinambungan, selain itu dari segi ekonomi juga dapat menguntungkan.

Reproduksi dapat memberikan gambaran tentang aspek biologi yang terkait proses reproduksi, mulai dari differensiasi seksual hingga dihasilkannya individu baru(larva). Dalam kegiatan budidaya perairan, salah satu faktor kunci yang menjadi pembatas adalah ketersediaan benih.

Kontinuitas ketersediaan benih baik dalam kualitas maupun kuantitas merupakan salah satu syarat keberhasilan upaya peningkatan produksi ikan. Penyediaan benih untuk budidaya dapat ditempuh dengan dua cara yaitu ; dengan penangkapan benih di perairan umum dan dengan cara memijahkan ikan peliharaan dikolam pembenihan atau pembuahan secara buatan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan yang perlu kita perhatikan dalam pelaksanaan praktikum ini antara lain:

1. Mengetahui mekanisme terjadinya fertilisasi

2. Mengetahui perkembangan sel telur setelah fertilisasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembuahan atau fertilisasi adalah bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur dalam sitoplasma hingga membentuk zigot. Pada dasarnya fertilisasi adalah merupakan satuan atau fusi sel gamet jantan dan gamet betina untuk membentuk sel zigot. (Effandie, 1978)

Penggabungan gamet adalah awal dan sangat fital dalam proses fertilisasi. Permukaan kepala dari spermatozoa memiliki reseptor yang memiliki spermophilic dari fertilizing. Dan sisi lain cincin ovophilic akan bergantung pada reseptor-reseptor yang ada pada telur. Sehingga terjadi penggabungan sperma dengan telur. Apabila fertilizing dan reseptor yang terkait dengan group ovophilik. Lapisan cortical dari telur mengandung substansi yang dapat menghalangi group spermophilic dari fertilizing disebut anti fertilizin. (Ginzburg, 1972).

Setelah terjadi penggabungan antara spermatozoa dengan telur, meolekul-molekul bebas dai fertilizin menghalangi antifertilizin dan mencegah terjadinya polysperma. Fertilizin dapat berinteraksi dengan reseptor pada spermatozoa. (Lille dan Tyler, 1977)

Proses terjadinya Penyatuan Gamet

Agen Aktif

Efek Biology

Lokasi

Karateristik kimia

Gimnogamon I

(punya sel telur)

Meningkatkan mortalitas spermatozoa dan memperpanjang masa mortal serta menetralisir aksi androgaman

Dalam telur (salmon)dikeluarkan ke lapisan vatelin, cairan telur dan mikrofil.

Sangat termostabil dan pekat cahaya, di duga sebagai carotenoit astaxantin

Gimnogamon II

Menyebabkan penggumpulan spermatozoa, menetralisir androgamon II

Dalam kortex alveli di lepaskan ke lapisan vatelin, tidak dikeluarkan oleh yang tidak subur.

Termolabil mengandung protein dan fospat

Androgamon I

(punya sel sperma)

Menekan mortilititas sperma

Dalam spermatozoa

Termostabil, larut dalam metanol, tahan terhadap tripsin, memiliki berat molekul rendah.

Androgamon II

Melarutkan jelli telur

Dalam spermatozoa dalam semen.

Termostabil, protein yang tidak larut dalam metanol

BAB III

METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Adapun praktikum kali ini dilaksanankan pada tanggal 10 April 2008 dan bertempat di Laboratorium Departemen Perikanan VEDCA Cianjur.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah ;

v Mikroskop

v Monitor

v Kaca preparat

v Fiber glass

v Pipet

v Cawan petri

v Suntik

Bahan yang digunakan adalah ;

v Aquades

v Ovaprim

v Ikan nila

v Ikan patin

C. Langkah Kerja

o Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.

o Induk ikan nila dan patin yang berada di kolam air deras diambil dan dipindahkan ke fiber glass.

o Lakukan penyuntikan dengan menggunakan oveprim (penyuntikan pertama).

o Setelah lima jam, lakukan penyuntikan kedua.

o Setelah lima jam, ambil induk dan lakukan striping untuk mengeluarkan telur dan sperma.

o Tamping telur dan sperma kedalam cawan petri yang berbda.

o Ambil beberapa cc telur dan letakkan pada cawan petri yang telah berada dibawah mikroskop.

o Ambil beberapa cc sperma dan dan tetskan di cawan petri yang telah berisi telur dan dibawah mikroskop.

o Amati proses fertilisasi dan catat hasilnya.

BAB IV

HASIL DAN PEBAHASAN

4.1 Hasil

H:\Picture0005.jpgGambar 1 (pukul 23.00) Gambar 2 (pukul 23.45)

H:\Picture0004.jpg

H:\Picture0008.jpgH:\Picture0007.jpg Gambar 3 (pukul 24.00) Gambar 4 (pukul 24.30)

H:\Picture0010.jpgH:\Picture0011.jpg Gambar 5 (pukul 24.45) Gambar 6 (pukul 01.15)

Gambar 7 (pukul 01.30) Gambar 8 (pukul 01.45)

H:\Picture0014.jpgH:\Picture0012.jpg

Gambar 9 (pukul 02.15) Gambar 10 (pukul 03.30)

H:\Picture0017.jpgH:\Picture0016.jpg

4.2 Pembahasan

Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Rasio pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur. Penggabungan gamet biasanya disertai dengan pengaktifan telur. Selama fertilisasi dan pengaktifan, telur-telur ikan teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli melebur, melepaskan cairan koloid, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang periviteline (Kjorsvik et al., 1990 dalam Utiah, 2006). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan adalah berat telur ketika terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan konsentrasi protein (Lahnsteiner et al., 2001).

Dari hasil praktikum yang kami amati bahwa pembuahan secara fertilisasi melibatkan penggabungan sitoplasma (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami). Zigot itu membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus seksual eukariota, dan pada dasarnya gamet-gamet yang melebur adalah haploid. Apabila keduanya motil seperti pada tumbuhan, maka fertilisasi itu disebut isogami, apabila berbeda dalam ukuran tetapi serupa dalam bentuk maka disebut anisogami, bila satu tidak motil (dan biasanya lebih besar) dinamakan oogami.

Pengamatan dalam praktikum fertilisasi ini menggunakan ikan mas, jika dilihat dari pembuahannya, ikan mas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun dalam fertisasi ikan patin tidak memerlukan waktu yang lama. Fertilisasi mengalami 4 pembelahan sel untuk menghasilkan zigot yang baru. Dapat disimpulkan setiap jenis ikan mengalami fertilisasi yang berbeda

Dari hasil yang didapatkan bisa disimpulkan bahwa fertilisasi adalah bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur. Dimana persatuan antara sperma dan sel telur terjadi diluar tubuh induk (fertilisasi eksternal). Ketika telur dilepaskan kedalam air akan mengeluarkan bahan atau substansi yang dapat merangsang spermatozoa untuk berenang atau berusaha mencapai telur.

Permukaan kepala dari spermatozoa memiliki reseptor yang dapat menangkap spermophilik dari fertilizing. Setelah terjadipenggabungan antara spermatozoa dengan sel telur. Molekul-molekul bebas dari fertilizin menghalangi antifertilizin dan mencegah terjadinya polysperm. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

BAB V

KESIMPULAN

Dari praktikum dan pembahasan yang kami lakukan. Bisa disimpulkan bahwa fertilisasi adalah bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur. Dimana persatuan antara sperma dan sel telur terjadi diluar tubuh induk (fertilisasi eksternal). Ketika telur dilepaskan kedalam air akan mengeluarkan bahan atau substansi yang dapat merangsang spermatozoa untuk berenang atau berusaha mencapai telur.

Penggabungan gamet adalah awal dan sangat fital dalam proses fertilisasi. Permukaan kepala dari spermatozoa memiliki reseptor yang memiliki spermophilic dari fertilizing. Dan sisi lain cincin ovophilic akan bergantung pada reseptor-reseptor yang ada pada telur. Sehingga terjadi penggabungan sperma dengan telur. Apabila fertilizing dan reseptor yang terkait dengan group ovophilik. Lapisan cortical dari telur mengandung substansi yang dapat menghalangi group spermophilic dari fertilizing disebut anti fertilizin.

Setelah terjadi penggabungan antara spermatozoa dengan telur, meolekul-molekul bebas dai fertilizin menghalangi antifertilizin dan mencegah terjadinya polysperma. Fertilizin dapat berinteraksi dengan reseptor pada spermatozoa

Skeletonema costatum VEDCA

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi organisme yang dibudidayakan. Dalam kondisi normal di alam, keanekaragaman pakan hidup (Fitoplankton dan zooplankton) tersedia dalam jumlah yang cukup dan dapat dimanfaatkan oleh setiap trofik level dengan efisien. Bagi jenis ikan kebutuhan akan pakan tercukupi, karena ikan mempunyai daya jelajah pada spektrum yang relatif luas. Permasalahan akan kebutuhan pakan biasanya baru muncul pada saat organisme berada dalam lingkungan budidaya. Ketersediaan pakan sangat bergantung pada manusia yang memelihara baik dari jumlah, jenis maupun waktu pemberian.

Penyedian pakan alami merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan usaha pembenihan ikan dan udang karena berpengaruh besar pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan udang disamping penyediaan induk. Hal ini terkait dengan pakan alami yang merupakan sumber nutrisi dalam memenuhi kebutuhan setiap fase pertumbuhan ikan dan udang terutama pada fase larva/benih.

Skeletonema costatum merupakan salah satu diatomae euryhalin dengan bentuk kotak yang indah dengan warna coklat keemasan. Namun waktu puncak pertumbuhan Skeletonema costatum ini hanya satu hari. Oleh karena itu, perlu adanya teknik kultur yang baik untuk memperpanjang waktu puncak populasinya.

1.2. Tujuan

Praktik Kerja Lapang ini bertujuan untuk :

1. Dapat menambah pengalaman yang riil di lapangan.

2. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan.

3. Mengetahui teknik kultur Skeletonema costatum skala laboratorium.

4. Pemenuhan persyaratan akademik.

5. Menyelesaikan mata kuliah teori semester IV dengan melalui Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

1.3. Sasaran

Setelah melaksanakan praktek kerja lapang, diharapkan mahasiswa :

1. Berpengalaman dalam kegiatan pembelajaran di industri yang relevan.

2. Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama kuliah pada tahun pertama.

3. Memperoleh tambahan materi yang didapat selama kegiatan PKL.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Sachlan (1982), Skeletonema costatum adalah salah satu jenis diatomae yang termasuk pada :

Kingdom : Plantae

Divisi : Chrysophyta

Kelas : Bacillariophyceae

Ordo : Centrales

Subordo : Coscinodiscineae

Famili : Coscinodiscaceae

Genus : Skeletonema

Spesies : Skeletonema costatum

Gambar 1. Skeletonema costatum

Skeletonema costatum merupakan fitoplankton dari jenis diatomae yang bersel tunggal dan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm. Sel diatomae memiliki ciri khas yaitu dinding selnya terdiri dari dua bagian seperti cawan petri. Dinding sel atas yang disebut epitekal saling menutupi dinding sel bagian bawah yang disebut hipoteka pada masing-masing tepinya. Pada setiap sel dipenuhi oleh sitoplasma. Dinding sel Skeletonema costatum memiliki frustula yang dapat menghasilkan skeletal eksternal yang berbentuk silindris (cembung) dan mempunyai duri-duri yang berfungsi sebagai penghubung pada frustula yang satu dengan yang lain sehingga membentuk filamen (BBPBAL Lampung, 2002).

Widiyani (1985) menyatakan bahwa dinding sel Skeletonema costatum mengandung pigmen yang terdiri dari klorofil-a, ß-karoten dan fukosantin. Pigmen yang dominan adalah karotenoid dan diatomin. Adanya pigmen karoten menyebabkan dinding sel berwarna coklat keemasan.

2.2. Habitat dan Penyebaran

Angka (1976) menyatakan Skeletonema costatum banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis, terdapat mulai dari pantai sampai lautan sebagai meroplankton dan benthos. Skeletonema costatum yang berada di pantai memiliki panjang rata-rata 9,7 µm dengan diameter rata-rata 5,8 µm.

Skeletonema costatum merupakan diatom yang bersifat eurythermal yaitu mampu tumbuh pada kisaran suhu 3-30oC dan suhu optimal adalah 25-27 oC serta bersifat euryhalin yaitu mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang luas yaitu 15-34 ppt dan salinitas yang paling baik untuk pertumbuhan adalah 20-30 ppt (Haryati, 1980).

2.3. Reproduksi dan Perkembangan

Isnansetyo dan Kurnaistuti (1995) menyatakan perkembangbiakan Skeletonema costatum terjadi secara aseksual dilakukan dengan cara pembelahan sel secara berulang-ulang, sehingga ukuran sel menjadi lebih kecil. Apabila ukuran selnya sudah di bawah 7 µm, maka reproduksinya tidak lagi secara aseksual, tetapi dengan cara seksual. Reproduksi secara seksual ditandai dengan pembentukan aukspora, sehingga aukspora membentuk epiteka dan hipoteka baru, kemudian tumbuh menjadi sel yang ukuranya lebih besar.

Menurut Martossudarmo dan Wulani (1990), pertumbuhan fitoplankton secara umum ditandai dengan lima tahap terpisah yaitu :

1. Tahap Induksi

Tahap adaptasi dengan lingkungan yang baru, populasi tidak berubah untuk sementara waktu.

2. Tahap Eksponensial

Ditandai dengan pembiakan sel yang cepat dan konstan.

3. Tahap Perlambatan Pertumbuhan

Kecepatan tumbuh mulai melambat, faktor yang berpengaruh adalah kekurangan nutrientt, laju suplai CO2 atau O2, dan perubahan nilai pH.

4. Tahap Stasioner

Terjadinya penurunan kecepatan perkembangan secara bertahap. Jumlah populasi konstan dalam waktu tertentu sebagai akibat dari penghentian pembiakan sel-sel secara total atau adanya keseimbangan antara tingkat kematian dan tingkat pertumbuhan.

5. Tahap Kematian

Tingkat kematian lebih tinggi dari tingkat perkembangan.

Tahap yang 4

diinginkan 3 5

2

1


Gambar 2. Pertumbuhan fitoplankton

Keterangan :

1. Tahap induksi

2. Tahap eksponensial

3. Tahap perlambatan pertumbuhan

4. Tahap stasioner

5. Tahap kematian

2.4. Kualitas Air

Pakan alami tumbuh subur pada perairan yang banyak mengandung bahan-bahan organik dan anorgnik serta menerima sinar matahari secara langsung. Pakan ini bisa pula ditumbuhkan dalam tempat yang sempit, tertutup dan dalam media yang terbatas asalkan memenuhi persyaratan tumbuh, seperti suhu, salintas, pH dan intensitas cahaya (Martosudarmo dan Wulani, 1990).

Meskipun dalam proses fotosintesis fitoplankton memproduksi O2 lebih banyak dari pada yang digunakannya namun fitoplankton juga memerlukan O2 untuk hidup. Selain O2, ketersediaan CO2 juga merupakan suatu hal yang sangat penting dalam fotosintesis (Round, 1970 dalam Mustofa, 1982). Umumnya udara atau atmosfir mengandung 0,03% gas CO2 (Koesoebionao, 1980 dalam Mustofa, 1982). Kebutuhan O2 dapat dipenuhi dengan pemberian aerasi. Turbulensi dan sirkulasi media kultur penting sekali untuk mempertahankan tempratur agar tetap homogen, penyinaran, CO2, nutrient, O2 dan hasil metabolisme lain agar menyebar merata (Wachjuni, 1988)

BBPBAL Lampung (2002) menyatakan standar mutu air untuk budidaya fitoplankton adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Standar mutu air untuk budidaya fitoplankton

No.

Paramater

Kisaran Nilai

Satuan

1.

Suhu

28 – 32

oC

2.

Salinitas

30 – 32

ppt

3.

pH

7,8 – 8,3

-

4.

DO

> 5

ppm

5.

Kesadahan

80 – 120

ppm

6.

Phosphat

< 0,1

ppm

7.

Amoniak

< 0,5

ppm

8.

Kecerahan

Maksimum

ppm

9.

NO2

< 0,1

ppm

10.

NO3

< 0,5

ppm


2.5. Nutrient

Unsur nutrient yang diperlukan fitoplankton dalam jumlah besar disebut makronutrient seperti nitrogrn, fospor, besi, sulfur, magnesium, kalium dan kalsium. Unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil disebut mikronutrient seperti tembaga, mangan, seng, boron, molybdenium dan cobalt.

2.5.1. Unsur Makronutrient

2.5.1.1. Nitrogen (N)

Unsur N merupakan komponen utama dari protein sel yang merupakan bagian dasar kehidupan organisme. Nitrogen yang dibutuhkan oleh media kultur terdapat pada : KNO3, NaNO3, NH4Cl dan (Nh2)2CO (urea).

2.5.1.2. Fospor (P)

Unsur P sangat dibutuhkan dalam protoplasma dan inti sel. Fospor juga merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, fospolipida, enzim dan vitamin. Dengan demikian fospor sangat berperan nyata dalam semua aktivitas kehidupan fitoplankton. Fospor yang dibutuhkan untuk kultur fitoplankton dapat diperoleh dari : KH2PO4, NaH2PO4 dan CaPO4 (TSP). Menurut Dwijoseputro (1986) dalam Sylvester (2002), unsur P dibutuhkan untuk pembentukan pospolipida dan nukleoprotein. Posporilasi dalam fotosintesis juga banyak melibatkan P untuk membentuk senyawa berenergi tinggi.

2.5.1.3. Besi (Fe)

Unsur Fe berperan penting dalam pembentukan kloroplas dan sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Pada kultur fitoplankton unsur besi dapat diperoleh dari : FeCl3, FeSO4 dan FeCaH5O7.

2.5.1.4. Kalium (K)

Unsur K selain berperan dalam pembentukan protoplasma juga berperan penting dalam kegiatan metabolisme dan aktivitas lainnya (Kurniastuty dan Julinasari, 1995 dalam Sylvester, 2002). Fungsi fisiologik Kalium adalah salah satu kation anorganik pertama di dalam sel dan kofaktor untuk beberapa koenzim (Suriawiria, 1985 dalam Sylvester, 2002). Unsur K dapat diperoleh dari KCl, KNO3 dan KH2PO4. Unsur K juga dapat dijumpai secara melimpah dalam air laut. Penggunaan K sangat dibutuhkan dalam media kultur jika digunakan air laut buatan.

2.5.1.5. Magnesium (Mg)

Unsur magnesium merupakan kation sel utama dan bahan dasar klorofil. Kation sel yang utama, kofaktor anorganik banyak reaksi ezimatik berfungsi di dalam penyatuan substrat dan enzim. Dari hasil penelitian Chen dan Shetty (1991) dalam Sylvester (2002) menunjukkan bahwa kandungan Mg pada air laut sangat tinggi yaitu sebesar 1.200 ppm.

2.5.1.6. Sulfur (S)

Sulfur merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan dalam pembentukan protein. Sulfur untuk media kultur plankton dapat diperoleh dari NH4SO4 (ZA) dan CuSO4.

2.5.1.7. Kalsium (Ca)

Unsur Ca berperan dalam penyelarasan dan pengaturan aktivitas protoplasma dan kandungan pH didalam sel. Sumber Ca antara lain : CaCl2 dan Ca(NO3)2.

2.5.2. Unsur Trace Element

Fitoplankton juga membutuhkan unsur hara mikro untuk kebutuhan hidupnya. Walaupun dibutuhkan dalam jumlah sedikit namun keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Beberap unsur hara mikro tersebut penggunaannya dalam media kultur dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Unsur hara mikro yang digunakan pada media kultur

Trace Element

Suber Mineral

Boron

H3BO3

Mangan

MnCl2

Seng

ZnCl2

Kobalt

CoCl2

Molibdenium

(NH4)6Mo7)24.4H2O

Tembaga

CuSO4.5H2O

Sumber . Syvester dkk., 2002

2.5.3. Vitamin B12

Disamping unsur anorganik, plankton juga membutuhkan unsur organik antara lain vitamin. Ada 3 vitamin yang telah diketahui sangat diperlukan oleh sebagian besar plankton yaitu : Cynocobalamin (vitamin B12), thiamin (B1) dan biotin. Lebih dari 70% plankton membutuhkan vitamin B12 untuk merangsang pertumbuhannya (Fogg, 1965 dalam Mustofa, 1982). Mustofa (1982) menyatakan bahwa vitamin B12 penting untuk merangsang perkembangan plankton walaupun dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Vitamin B12 dalam media kultur plankton berperan sebagai faktor perangsang pertumbuhan (growth factor) yang dapat merangsang fotosintesa.

2.5.4. Teknik Budidaya

2.5.4.1. Koleksi

Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menyatakan koleksi bertujuan untuk mendapatkan satu atau beberapa jenis fitoplankton dari alam untuk dikultur secara murni. Pengambilan fitoplankton di alam dapat dilakukan dengan menggunakan plankton net. Fitoplankton yang tertangkap di masukkan dalam wadah, misalnya tabung reaksi, Erlenmeyer, botol atau jerigen. Fitoplankton tersebut dibawa ke laboratorium dan dijaga agar tetap hidup.

2.5.4.2. Isolasi

Metode untuk mengisolasi fitoplankton tergantung pada ukuran dan karakteristik fitoplankton. Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menyatakan ada lima metode isolasi yang dapat dilakukan yaitu :

1. Metode Isolasi Secara Biologis

Metode isolasi ini dilakukan berdasarkan pergerakan fitoplankton, yaitu menggunakan pengaruh fototaksis positif organisme tersebut. Organisme akan bergerak menuju ke sumber cahaya, sehingga dapat dikumpulkan dan dapat dipindahkan ke media air laut steril. Proses ini diulang beberapa kali sampai fitoplankton terkumpul.

2. Metode Isolasi Pengenceran Berseri

Metode isolasi ini dilakukan bila jenis organisme yang terkumpul sangat banyak dan ada salah satu spesies yang dominan. Cara ini dilakukan dengan memindahkan sampel ke dalam beberapa tabung reaksi dengan komposisi hara, kondisi suhu dan cahaya yang cocok untuk pertumbuhan fitoplankton yang akan diisolasi.

3. Metode Isolasi Pengulangan Sub-kultur

Metode isolasi ini hampir sama dengan metode isolasi pengenceran berseri, tetapi organisme yang terkumpul jumlah dan jenisnya sedikit sehingga dilakukan kultur pada media dengan komposisi hara, kondisi suhu dan intensitas cahaya yang sesuai dengan pertumbuhan fitoplankton yang akan diisolasi.

4. Metode Isolasi Pipet Kapiler

Metode isolasi ini dilakukan dengan meletakkan sampel sebanyak 10-15 tetes di tengah-tengah cawan petri. Kemudian masukkan 6-8 medium yang sesuai di sekeliling sampel tersebut. Isolasi fitoplankton dilakukan dengan memindahkan sampel air pada salah satu tetesan media dengan pipet kapiler steril. Pemindahan fitoplankton terus dilakukan dari tetesan media ke tetesan media berikutnya kemudian dilihat di bawah mikroskop hingga diperoleh unit fitoplankton tunggal tersebut kemudian dipindahkan ke media dan kondisi lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhannya.

5. Metode Isolasi Goresan

Metode ini sangat baik digunakan untuk mengisolasi fitoplankton sel tunggal seperti Chlorella sp. Metode ini menggunakan media agar-agar. Agar-agar sebanyak 1,5% dicampur pada air laut dengan salinitas tertentu, kemudian dipanaskan hingga mendidih.

Selama proses pemanasan harus diaduk terus menerus untuk mencegah terjadinya kerak atau penggumpalan. Setelah pemanasan selesai, larutan agar-agar tersebut kemudian diangkat dan ditunggu agak dingin baru dilakukan pemupukan sesuai jenis pupuk dan dosis yang diinginkan dengan menggunakan pipet volumetrik.

Larutan agar-agar yang telah dipupuk disterilisasi dengan autoclave (121 oC, 15 menit) atau pengukusan sekitar 30 menit. Angkat dan biarkan agak dingin, sekitar 50 oC. Selanjutnya dituangkan ke dalam cawan petri yang sudah steril dengan tebal kurang lebih 3 mm atau ke dalam tabung reaksi yang sudah steril dalam posisi miring.

Setelah media agar-agar membeku, kemudian ditulari dengan bibit fitoplankton yang berasal dari air sampel dengan cara goresan menggunakan jarum ose yang telah dibakar dengan pembakar spritus. Bibit digoreskan dalam media agar-agar pada cawan petri dengan pola zig-zag. Untuk mencegah kontaminasi oleh mikroorganisme lain maka cawan petri ditutup atau disegel dengan isolasi.

Untuk penumbuhan, cawan petri atau tabung reaksi tersebut diletakkan pada rak kultur serta disinari dengan dua buah lampu TL 40 watt secara terus menerus. Cawan petri diletakkan pada posisi terbalik. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya proses pengeringan akibat penyinaran dengan lampu TL secara terus menerus atau penetesan embun dari bagian tutup cawan petri ke media agar-agar.

Setelah beberapa hari inokulum akan tampak tumbuh pada goresan media agar-agar, tetapi masih tercampur dengan fitoplankton jenis lain, kemudian dilakukan penggoresan berulang-ulang pada media agar-agar yang sama sampai diperoleh bibit fitoplankton yang benar-benar murni. Isolat ini diinkubasi dalam ruangan ber AC untuk menjaga kestabilan suhu 25 oC - 27 oC.

Hasil kultur murni dari media agar-agar dikembangkan pada media cair dalam tabung reaksi dengan volume media kultur 10 ml. Bibit diambil dengan jarum ose yang steril kemudian dipindah ke tabung reaksi secara aseptis. Selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop.

2.5.4.3. Perbanyakan

Kultur skala laboratorium dimulai dari volume 0,5 liter 3-5 liter. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukkan ke dalam botol-botol kultur. Air laut yang digunakan terlebih dahulu harus disterilkan. Sebelum inokulum dimasukkan sebanyak 1/3 bagian, media kultur dipupuk terlebih dahulu.

III. METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada Laboratorium Pakan Hidup dilaksanakan selama 2 bulan, yang dimulai pada tanggal 10 Desember 2008 sampai dengan 25 Januari 2009 yang bertempat di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah.

3.2. Metode

3.2.1. Orientasi

Pada saat orientasi mahasiswa diajak untuk mengenali lingkungan tempat magang kemudian mendapat petunjuk dan arahan serta diajak berdiskusi untuk menentukan divisi tempat magang.

3.2.2. Observasi

Pada tahap ini mahasiswa mengikuti secara langsung kegiatan di Laboratorium Pakan Hidup Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara untuk mendapatkan data, informasi dan keterampilan.

3.2.3. Adaptasi

Dengan mengikuti seluruh kegiatan di Laboratorium Pakan Hidup yang meliputi persiapan wadah, persiapan media, pengambilan sampel di laut, isolasi, kultur skalala laborartorium, kultur semi masal, kultur masal, pemanenan dan pasca panen, serta senantiasa berdiskusi dengan pambimbing, karyawan dan masyarakat di sekitar tempat industri maka mahasiswa diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan disiplin, intensitas kerja serta kultur masyarakat di sekitar tempat PKL.

3.3. Pelaksanaan

Pada tahap ini mahasiswa melaksanakan pengumpulan data primer yaitu dengan mengikuti seluruh kegiatan pada Laboratorium Pakan Hidup yang meliputi persiapan wadah, persiapan media, pengambilan sampel di laut, isolasi, kultur skalala laborartorium, kultur semi masal, kultur masal, pemanenan dan pasca panen, mahasiswa juga melakukan pengumpulan data sekunder yaitu dengan studi pustaka dengan mencari keterangan ilmiah teoritis dan literatur yang mencakup maslah-masalah yang dihadapi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Perusahaan

4.1.1. Sejarah Tempat Magang

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dalam perkembangannya sejak didirikan mengalami beberapa kali perubahan status dan hierarki. Pada awal berdirinya tahun 1971, lembaga ini diberi nama Research Center Udang (RCU) dan secara hierarki berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian. Sasaran utama lembaga ini adalah meneliti siklus hidup udang dari telur hingga dewasa secara terkendali dan dapat dibudidayakan di lingkungan tambak.

Pada tahun 1977, RCU diubah namanya menjadi Balai Budidaya Air Payau (BBAP) yang secara struktural berada di bawah Direktorat Jenderal Perikanan - Departemen Pertanian. Pada periode ini, jenis komoditas yang dikembangkan selain jenis udang juga ikan bersirip, ekinodermata dan moluska air. Momentum yang menjadi pendorong bagi perkembangan industri udang secara nasional berawal dari keberhasilan yang diraih BBAP dalam produksi benih udang secara massal, khususnya benih udang windu pada tahun 1978. Pada saat itu diawali dengan diterapkannya teknik pematangan gonad induk udang dengan cara ablasi mata, sehingga salah satu kendala dalam penyediaan induk matang telur sudah dapat teratasi.

Pada tahun 2000 setelah terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, keberadaan BBAP masih di bawah Direktorat Jenderal Perikanan. Akhirnya pada bulan Mei 2001, status BBAP ditingkatkan menjadi Eselon II dengan nama Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.

4.1.2. Letak Geografis Lokasi Magang

Secara garis besar Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara terletak di Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Lokasi Balai teletak pada daerah Pantai Utara Pulau Jawa tepatnya pada 110o 39’ 11” BT dan 6o 35’ 10 LS dan terletak pada tanjung kecil yang landai di sebelah barat kota Jepara yang berjarak sekitar 3 km dari pusat kota.

Pantai yang mengitarinya landai berkarang dan berair jernih dengan salinitas 28-35 ppt dengan perbedaan pasang surutnya 1 m. Jenis tanah di balai ini adalah lempung berpasir. Kompleks BBPBAP Jepara memiliki luas areal 64,5472 Ha dimana 10 Ha terdiri dari kompleks perkantoran, perumahan, asrama, unit pembenihan, lapangan olahraga dan laboratorium, sedangkan 54,5472 Ha merupakan areal tambak.

4.1.3. Organisasi dan Ketenaga Kerjaan

Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP. 26 C/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang organisasi dan tata kerja BBPBAP Jepara yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Perairan. Di dalam struktur organisasi tersebut, terdapat kelompok jabatan fungsional yang mempunyai tugas melaksanakan kegiatan perekayasaan, pengujian, dan pembimbingan, penerapan standar teknik alat dan mesin, sertifikasi pembenihan dan pembudidayaan, penyuluhan hama dan penyakit, pengawasan benih dan kegiatan lain yang sesuai dengan masing-masing jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelompok jabatan fungsional yang terdapat di BBPBAP Jepara yaitu, jabatan fungsional Perekayasaan, jabatan fungsonal Pustakawan serta jabatan Teknisi Litkayasa.

4.1.4. Visi dan Misi BBPBAP Jepara

4.1.4.1. Visi

Memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam pembangunan perikanan.

4.1.4.2. Misi

a. Mengkaji teknologi perikanan

b. Mengembangkan jasa pelayanan dan sertifikasi

c. Melestarikan sumber daya ikan

4.1.5. Sumberdaya Manusia

Dalam pelaksanaan tugasnya BBPBAP Jepara didukung oleh sumberdaya manusia sebanyak 165 orang, terdiri atas 162 orang PNS, 2 orang CPNS dan satu orang tenaga honorer. Jumlah pegawai BBPBAP Jepara menurut status kepegawaian dan tingkat pendidikan tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 3. Jumlah Pegawai BBPBAP Jepara Menurut Status Kepegawaian

Tahun 2007

No.

Status

Golongan / Ruang

Jumlah

VI

III

II

I

1.

2.

3.

PNS

CPNS

Honorer

12

-

-

70

2

1

70

-

-

10

-

-

162

2

1

JUMLAH

12

73

70

10

165

Sumber : Laporan kegiatan BBPBAP Jepara Tahun 2007

Tabel 4. Tingkat Pendidikan di BBPBAP Jepara Tahun 2007

NO.

Status

Tingkat Penididkan

Jumlah

S3

S2

S1

D3

SLTA

SLTP

SD

1.

2.

3.

PNS

CPNS

Hononer

1

-

-

13

-

-

34

2

1

17

-

-

65

-

-

16

-

-

16

-

-

162

2

1

JUMLAH

1

13

37

17

65

16

16

165

Sumber : Laporan kegiatan BBPBAP Jepara Tahun 2007

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan pegawai di BBPBAP Jepara bervariasi dari jenjang S3 sampai tamatan SD. Namun demikian untuk meningkatkan SDM di lingkungannya, BBPBAP Jepara juga melakukan peningkatan kompetensi baik dengan pendidikan formal maupun non formal kepada pegawainya agar perkembangan ilmu pengetahuan dan keahlian terus meningkat.

4.1.6. Fasilitas Fisik Laboratorium Pakan Hidup

4.1.6.1. Alat Utama

Alat yang digunakan dalam kegiatan kultur adalah :

a. Alat autoclave untuk sterilisasi wadah dan media kultur

b. Mikroskop untuk mengamati bentuk dan menghitung kepadatan sel

c. Sistem aerasi yang terdiri dari blower, aertor dan selang aerasi

d. Timbangan Sertorius untuk menimbang bahan-bahan kultur

e. Kompor gas Bunsen untuk sterilisasi peralatan gelas dan wadah kultur

f. Saringan plankton berukuran 150 µm untuk menyaring bibit

g. Aqua filter berukuran 2 µm untuk memfiltrasi air

h. Sedgewick Rafter Counting Cell (SRCC) untuk menghitung kepadatan

i. Haemocytometer untuk menghitung kepadatan

j. Refractometer untuk mengukur salinitas air media kultur

k. Air conditioner untuk mengatur suhu dalam laboratorium

l. Magnetic stirrer untuk mengaduk pupuk

m. Tabung erlenmeyer volume 2.000 ml

n. Beaker glass 1.000 ml

o. Gelas ukur volume 25 ml, 50 ml dan 100 ml

p. Mikropipet ukuran 1 ml

q. Object glass untuk menaruh sampel sel yang akan diamati

r. Pipet untuk mengambil bbit dalam proses penyaringan

4.1.6.2. Alat Penunjang

Kapas, kain kassa, kertas label, isolasi, gunting, alat tulis dan aluminium foil sebagai piranti air media stok ; corong plastik, kertas saring dan gelas ukur plastik yang digunakan pada saat pengenceran; sendok dan kantong plastik digunakan dalam menimbang pupuk dan Na-tiosulfat; botol sampel, aquadest, larutan formalin dan kalkulator yang digunakan dalam penghitungan kepadatan; serta kertas, tissue, alkohol dan rak dorong yang digunakan saat kegiatan kultur di dalam laboratorium.

4.1.6.3. Fasilitas Pendukung

Tenaga listrik merupakan kebutuhan yang sangat vital, sehingga keberadaannya harus tersedia selama 24 jam tiap harinya. Penggunaan tenaga listrik ini diperlukan untuk mengaktifkan alat-alat penunjang kegiatan seperti pompa, blower, lampu penerangan, kulkas dan lain-lain. Di BBPBAP Jepara sumber listrik berasal dari instalasi Perusahaan Listik Negara (PLN) Jepara. Selain itu sebagai cadangan listrik disediakan pula pembangkit tenaga diesel (generator) dengan daya 310 KVA (Kilo Volt Ampere) yang digunakan saat listrik padam.

4.1.6.4. Bahan

a. Air yang digunakan dalam kultur Sceletonema costatum air dengan salinitas 28 ppt yang telah melalui proses autoclave. Air laut yang digunakan berasal dari laut sekitar BBPBAP Jepara sedangkan air tawar berasal dari sumur bor yang berada di sekitar laboratorium.

b. Pupuk

Dalam Sceletonema costatum digunakan pupuk cair yang terdiri dari

1. KNO3 = 30 – 40 ppm

2. NaH2PO4 = 10 – 15 ppm

3. Na2SiO3 = 5 – 8 ppm

4. EDTA = 3 – 5 ppm

5. FeCl3 = 0,5 - 1 ppm

6. Vitamin B12 = 0,001 ppm

Adapun cara pembuatan pupuk cair pada kultur Fitoplankton di BBPBAP Jepara menggunakan rumus berikut :

Q = V x K

P

Keterangan :

Q = bobot pupuk

V = volume akuades

K = konsentrasi pupuk

P = penggunaan / m3

c. Bibit Sceletonema costatum

Bibit yang digunakan adalah Sceletonema costatum yang diambil dari biakan murni yang telah tersedia di laboratorium. Biakan murni di BBPBAP Jepara tersebut merupakan hasil kultur sehari sebelumnya.

4.2. Hasil Kegiatan PKL

4.2.1. Sterilisasi

Sterilisasi adalah proses untuk menginaktivasi total mikroba hidup. Sterlisasi dapat menggunakan desinfektan, bahan-bahan kimia, ultraviolet, pengeringan dengan sinar matahari, autoclave dan system filtrasi untuk membersihkan air dan suplai udara.

Peralatan seperti beaker glass, tutup toples, selang aerasi dan peralatan-peralatan lain dicuci dengan detergen lalu dibilas dengan air tawar hingga bersih dan dikeringkan. Peralatan seperti selang aerasi setelah kering dikukus dengan uap air mendidih selama 30 menit lalu dibiarkan sampai dingin dan kering. Peralatan seperti tabung reaksi, tabung erlenmeyer ditutup dengan kapas dan ditutup dengan aluminium foil lalu disterilisasi dengan oven (Gambar 3) atau autoclave (Gambar 4).

Sterilisasi media kultur yaitu air laut dan air tawar disaring dengan menggunakan capsule filter 20 µm. Untuk air laut disterilisasi ulang dengan menggunakan Water purifier.

Dibawah ini adalah alat sterilisasi.

Gambar 3. Oven Gambar 4. Autoclave

Gambar 5. Destilator

4.2.2. Persiapan Air Media Kultur

Persiapan air media kultur dilakukan untuk air laut karena salinitas air laut tiap hari dapat berubah-ubah, sehingga perlu dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan kebutuhan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

1. Mengambil sampel air laut untuk diukur salinitasnya dengan menggunakan refraktometer (Gambar 7).

2. Jika salinitas yang telah diukur lebih tinggi atau lebih rendah maka salinitasnya harus diturunkan atau dinaikkan dengan cara menambah atau mengurangi air laut. Untuk mengetahui volume air laut dengan salinitas yang diinginkan maka dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

V1.N1 = V2.N2


Ketetrangan :

V1 : volume air laut yang akan dipakai

V2 : volume total air media

N1 : salinitas yang terukur pada refraktometer

N2 : salinitas yang diinginkan

Dibawah ini adalah alat untuk mengukur kulaitas air.

Gambar 6. Ion Meter

Gambar 7. Refraktometer

4.2.3. Pemilihan Bibit

Bibit yang akan ditebar dalam media kultur adalah bibit hasil biakan murni. Sebelumnya perlu dilakukan pemilihan bibit dengan mengamatinya menggunakan mikroskop untuk menentukan bibit yang berkualitas, adapun kriteria bibit yang berkualitas adalah sebagai berikut :

a. Tingkat kapadatan optimal. Tingkat kepadatan optimal sangat bergantung pada umur biakan, untuk Sceletonema costatum pertumbuhan puncaknya adalah 24 jam.

b. Tidak mengandung kontaminan seperti bakteri dan mikroorganisme lain.

4.2.4. Penyaringan Bibit

Bibit yang telah dipilih selanjutnya disaring. Penyaringan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Siapkan alat dan bahan seperti beaker glass, gelas ukur, pipet dan air dengan volume 2.000 ml yang telah disterilkan terlebih dahulu.

b. Tangan disterilkan dengan menggunakan alkohol.

c. Bibit yang telah dipilih disaring dengan menggunakan saringan khusus sampai yang tersisa hanya padatan saja.

d. Padatan dibilas dengan dengan menggunakan air yang telah disiapkan.

e. Masukkan bibit hasil bilasan dengan menggunakan pipet ke dalam beaker glass.

f. Berikan aerasi dengan kecepatan rendah untuk menghindari kerusakan atau patahnya sel.

Berikut ini adalah gambar penyaringan bibit

Gambar 8. Penyaringan bibit

4.2.5. Perhitungan Bibit

Bibit yang akan ditebar harus disesuaikan dengan ketentuan kepadatan awal. Perhitungan kepadatan ini menggunakan Sedgewick Rafter Counting Cell (SRCC) dengan cara sebagai berikut :

a. Sediakan alat dan bahan yang dibutuhkan

b. Ambil bibit dengan pipet steril sebanyak 2 ml.

c. Masukkan ke dalam botol sampel

d. Karena kepadatan tinggi dilakukan pengenceran sebanyak 50 kali, dengan cara masukkan aquades sebanyak 49 ml dan kemudian masukkan sampel sebanyak 1 ml, kemudian aduk dengan menggunakan pipet steril agar merata.

e. Ambil ± 1 ml sampel dan masukkan ke dalam Sedgewick Rafter Counting Cell (SRCC) yang sebelumnya telah ditutup dengan menggunakan object glass. Proses pemasukan sample harus dilakukan secara hati-hati agar gelembung udara tidak ikut masuk.

f. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 kali. Jumlah kotak dalam SRCC adalah 1.000 kotak. Agar mudah dihitung dilakukan metode pengambilan dengan 10 titik sampel secara acak. Perhitungan dimulai dari bidang atas sebelah kiri sampai bidang bawah paling kanan dalam satu luas pandang mata, selanjutnya dihitung dengan menggunakan hand counter.

X1

X2

X6

X7

X3

X8

X4

X5

X9

X10

Gambar 9. Cara pengamatam dengan SRCC

Atau

X1

X2

X3

X4

X5

X6

X7

X8

X9

X10

Gambar 10. Cara pengamatan dengan SRCC

g. Hasil perhitungan dapat disubstitusikan kedalam rumus :

Jumlah sel (sel/ml) = Jumlah x 1.000

31,4

h. Untuk menghitung banyaknya bibit yang akan digunakan, dapat menggunakan persamaan berikut :

V1 = N2 x V2

N1

Keterangan :

V1 = volume inokulum yang dibutuhkan

V2 = volume air media kultur

N2 = kepadatan awal yang diinginkan

N1 = kepadatan sel inokulum / mL

Perhitungan jumlah sel plankton per ml (inokulum) dengan pengamatan mikroskopis juga berfungsi untuk mengetahui perkembangan jumlah populasi plankton dari hari ke hari sampai mencapai puncak populasi sehingga dapat diketahui kapan kultur plankton itu mencapai puncak populasi dan kapan dapat dipanen untuk selanjutnya dapat digunakan.

Dibawah ini adalah alat untuk menghitung dan mengamati Skeletonema costatum

Gambar 11. Mikroskop Gambar 12. SRCC

4.2.6. Pemberian Pupuk

Pupuk yang diberikan adalah pupuk cair yang terdiri dari KNO3, NaH2PO4, Na2SiO3, EDTA, FeCl3 dan Vitamin B12. Penggunaan masing-masing pupuk adalah 0,5 ml/l air media kultur. Jadi banyaknya pupuk yang diberikan dalam 2 L air kultur adalah 1 ml.

Cara pemberian pupuk cair pada air media kultur menggunakan mikro pipet, untuk setiap pupuk menggunakan pipet yang berbeda. Air media kultur dibiarkan selama ± 5 menit sebelum bibit ditebar agar pupuk dapat tercampur merata dengan media kultur.

Di bawah ini adalah gambar cara memberikan pupuk

Gambar 13. Pemberian Pupuk

4.2.7. Penebaran bibit

Bibit yang berada dalam beaker glass ditakar ke dalam gelas ukur steril, yang jumlahnya sesuai dengan hasil perhitungan. Setelah bibit ditebar, tutup erlenmeyer dengan menggunakan kapas dan aluminium foil, kecepatan aerasi dikecilkan agar sel tidak rusak atau patah. Selain itu tabung media kultur disemprot dengan menggunakan alkohol dan dilap dengan tissue untuk mengurangi kontaminan. Yang terakhir adalah pemberian label yang bertuliskan tanggal kultur dan nama plankton.

4.2.8. Pemanenan

Pemanenan dilakukan 24 jam setelah bibit ditebar. Pemanenan dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama menyaring Skeletonema costatum kemudian dikultur kembali pada skala laboratorium dan yang kedua yaitu Skeletonema costatum hasil kultur langsung digunakan dalam kultur pada media yang lebih luas yaitu skala semi masal atau masal.

4.3. Pembahasan

4.3.1. Persiapan

Kultur fitoplankton secara umum tediri dari tiga tahap, yaitu skala laboratorium, skala semi massal dan skala massal. Teknik kultur fitoplankton skala laboratorium pada umumnya memerlukan kondisi lingkungan yang terkendali (indoor). Laboratorium yang digunakan sebagai ruang kultur harus tertutup, terisolasi dengan lingkungan luar dan steril. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kultur skala laboratorium ini diantaranya suhu, DO, cahaya dan ada atau tidaknya kontaminasi mikroorganisme lain. Pada kultur fitoplankton skala laboratorium di BBPBAP Jepara, agar suhu ruangan selalu terkendali dan ruangan terisolasi dengan lingkungan luar maka laboratorium dilengkapi dengan AC (Air Conditioner). Lalu sebagai sumber cahaya untuk membantu proses fotosintesis menggunakan lampu neon TL dengan intensitas cahaya 2000-8000 lux dan sebagai sumber aerasi digunakan blower tersendiri yang dilengkapi dengan saringan untuk memperkecil terjadinya kontaminasi.

Air yang digunakan untuk kultur harus bebas dari organisme lain yang bisa menjadi kompetitor fitoplankton yang dikultur, seperti fitoplankton jenis lain, zooplankton, protozoa dan bakteri. Setelah melalui penyaringan air diberikan chlorine dan sehari setelahnya diberikan Na-thiosulfat. Kemudian air, wadah dan peralatan kultur dilakukan sterilisasi dengan autoclave. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi.

4.3.2. Pupuk

Untuk mempermudah pekerjaan, pupuk yang digunakan dalam kultur Skeletonema costatum diencerkan dalam 200 ml air dan dosis pemakaiannya adalah 0,5 ml per liter. Untuk kultur Skeletonema cotatum skala laboratorium nutrient yang digunakan antara lain; KNO3 100 ppm, NaH2PO4 10 ppm, Na2SiO3 10 ppm, FeCl3 1 ppm, EDTA 5 ppm dan Vitamin B12 0,001 ppm. Masing – masing dari nutrient tersebut dilarutkan terlebih dahulu dengan aquades dalam botol gelap untuk mempermudah dalam penggunaannya. Proses pelarutan pupuk dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

X = V x K

P

Keterangan :

X : Berat nutrient yang dicari (untuk diencerkan) (mg).

V : Volume pengenceran (ml)

K : Konsetrasi nutrient yang digunakan (ppm)

P : Penggunaan dalam proses kultur (ml/l)

Sebelum ditempatkan di dalam botol gelap terlebih dahulu ditempatkan di botol erlenmeyer untuk disterilisasi dengan menggunakan autoclave dengan suhu 121oC, tekanan 1 atm selama 15 menit. Semua nutrient di autoclave kecuali untuk Vitamin B12. Setelah dingin nutrient dipindahkan ke botol gelap untuk proses penyimpanan selanjutnya sebelum digunakan untuk kultur.

4.3.3. Pemilihan Bibit

Bibit yang akan digunakan dipilih terlebih dahulu dengan cara makroskopis dan mikroskopis. Pemilihan secara makroskopis yaitu dengan melihat secara kasat mata, kriteria bibit yang baik adalah tidak banyak mengendap, warna tidak pudar dan kepadatan normal. Sedangkan pengamatan secara mikroskopis yaitu dengan melihat bibit dengan menggunakan mokroskop, kriteria bibit yang baik adalah panjang rantai lebih dari 30, kepadatan lebih dari 100.000 sel/ml, warnanya tidak pucat, tidak keropos dan tidak terdapat kontaminan.

Bibit yang telah dipilih kemudian disaring dengan menggunakan saringan berukuran 1 µm hingga yang tersisa hanya padatannya saja, kemudian padatan dibilas dengan air steril yang telah disiapkan. Bibit dimasukkan ke dalam beaker glass dengan menggunakan pipet. Sebelum digunakan bibit diaerasi dengan kecepatan rendah untuk menghindari kerusakan sel.

Sebelum ditebar bibit dihitung kepadatannya terlebih dahulu dengan menggunakan Sedgewick Rafter Counting Cell (SRCC) dengan cara mengambil sampel bibit yang telah dipilih dengan menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml kemudian masukkan ke dalam gelas ukur. Untuk mempermudah perhitungan, sampel diencerkan sebanyak 50 kali, dengan cara masukkan aquades sebanyak 49 ml dan masukkan sampel sebanyak 1 ml kemudian aduk hingga merata. Ambil 1 ml sampel yang telah diencerkan kemudian masukkan kedalam SRCC, pemasukan harus dilkukan secara hati-hati agar gelembung udara tidak ikut masuk bersama sampel. Setelah siap letakkan SRCC ke dalam mikroskop kemudian hitung sampel dengan metode acak sebanyak 10 kali.

Setelah dihitung kepadatannya bibit ditebar dengan kepadatan 10.000 sel / ml selanjutnya erlenmeyer ditutup kembali dengan menggunakan kapas dan aluminium foil kemudian diberi label. Setelah itu letakkan erlenmeyer di rak kultur yang telah dilengkapi lampu neon TL yang fungsinya untuk membantu proses fotosintesis dan kemudian beri aerasi dengan kecepatan sedang.

4.3.4. Perawatan

Skeletonema costatum dipelihara salama satu hari atau 24 jam, selama pemeliharaan harus selalu diperhatikan kedaan teknis seperti aerasi. Jika aerasi terlalu kuat maka sel-sel Skeletonema costatum akan rusak dan jika aerasi mati maka sel-selnya tidak akan berkembang bahkan akan mati. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah suhu di dalam ruangan harus berada pada 28o C dan lampu penerang tidak boleh padam sebab akan menghambat proses fotosintesis sehingga menyebabkan kematian.

4.3.5. Pemanenan

Pemenenan dilakukan 24 jam setelah bibit ditebar, sebab pada saat itu Skeletonema costatum telah mencapai puncak populasi. Apabila pemanenan terlalu cepat atau belum mencapai puncak populasi, sisa zat hara masih cukup besar sehingga dapat membahayakan organisme pemangsa. Sedangkan apabila pemanenan terlambat maka sudah banyak terjadi kematian pada Skeletonema costatum sehingga kualitasnya menurun. Sebelum melakukan pemanenan sebaiknya dilakukan penghitungan kepadatan terlebih dahulu untuk mengetahui jumlah sel yang ada. Pemanenan biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Dengan melakukan penyaringan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan kemudian dikultur kembali pada skala laboratorium.

2. Cara yang kedua yaitu Skeletonema costatum hasil kultur langsung digunakan dalam kultur pada media yang lebih luas yaitu skala semi massal atau skala massal. Caranya yaitu dengan menghitung kepadatan selnya terlebih dahulu, setelah didapatkan hasil perhitungannya maka bibit ditebar dengan kapadatan yang diinginkan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil Praktik Kerja Lapangan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kultur Skeletonema costatum merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga ketersediaan pakan alami bagi larva ikan dan udang pada usaha pembenihan.

2. Waktu puncak populasi Skeletonema costatum di Laboratorium Pakan Hidup BBPBAP Jepara adalah 24 jam.

3. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal harus diperhatikan semua faktor yang mendukung yaitu fisika, kimia, biologi dan lingkungan.

4. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi, karyawan, tempat dan peralatan yang digunakan untuk kultur harus selalu dalam keadaan steril.

5.2. Saran

1. Pihak Laboratorium Pakan Hidup BBPBAP Jepara perlu melakukan pengkajian lebih lanjut untuk mendapatkan teknik kultur yang lebih baik agar waktu puncak populasi Skeletonema costatum dapat lebih diperpanjang.

2. Setiap orang yang masuk kedalam laboratorium agar memakai jas lab untuk menghindari kecelakaan kerja dan untuk mengindari kontaminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Angka, 1976. Kultur Laboratoris Diatomae Laut : Pengaruh Salinitas dan Inoculum terhadap Pertumbuhan Populasi Monokultur Skeletonema costatum dan Nitzschia closterium Pelagis dan Benthis dari Laut Jawa. Laporan Proyek Penellitian (tidak dipublikasikan). IPB.

Balai Budidaya Laut Lampung. 2005. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Balai Budidaya Laut Lampung. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Deaprtemen Kelautan dan Perikanan. Lampung

Chen, J dan Setty, H.P.C. 1991. Culture of Marine Feed Organisme. UNDP/FAO. National Island Fisheries Institute. Kasertsart University Campus. Bangkhen Thailand. 15pp.

Erlina dan Hastuti. 1986. Kultur Plankton. INFIS Manual Seri No. 38. 26 Halaman

Haryati. 1980. Percobaan Penggunaan Beberapa Macam Komposisi Media Terhadap Pertumbuhan Populasi Monokultur Skeletonema costatum Greville. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP Semarang.

Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankto Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kansius. Jakarta

Martosudarmo dan Wulani. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Pemeliharaan Kultur Murni dan Masal Mikroalga. FAO. 33 Halaman.

Sachlan. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP Semarang.

Sylvester. B.D., Nelvy dan Sudjiharno. 2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton dalam Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Seri Budidaya Laut no. 9 Balai Budidaya Laut Lampung. Direktorat Jenderal Kelautan dan Perikanan Lampung. Lampung.

Wachjuni, S. 1988. Laporan Kegiatan Training Alga UNDP-FAO/INS/85/009 di Balai Besar Pengemban Budidaya Air Payau Jepara. Sub Senter Udang Takalar. Bagian Proyek Peningkatan Prduksi Perikanan di Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan.

Windiyani. 1985. Pengaruh Berbagai tingkat Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan Populasi Skeletonema costatum (Grev). Clev. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Peternakan. UNDIP.

Mustofa, T.D. 1982. Pengaruh Penambahan Vitamin B12 Pada Tingkat Salinitas Yang Berbeda Terhadap Perkembangan Populasi Monokultur Tetraselmis sp, Skeletonema sp dan Chaetocheros sp. Departemen Pertanian Derektorat Jendral Perikanan Bagian Proyek Peningkatan Budidaya Udang. Banda Aceh.